Alqur’an dan Jiwa
Jiwa
dalam Bahasa Arab disebut "al-Nafs" dan ilmu jiwa disebut 'ilm
al-nafs. kata-kata al-nafs banyak dijumpai dalam Al-Qur’an dan memiliki makna
ganda seperti Manusia, Zat, Unsur, Diri, Nafsu dan Jiwa dalam arti Subtansi
Manusia. kata-kata al-nafs yang bermakna jiwa didapati dalam Ayat-ayat Allah
yakni dalam Surat Al-Fajr:27-28:
"hai jiwa yang
tenang! kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya.
dan didalam Surat Al-Qiyamah:2 " dan Aku bersumpah dengan jiwa
yang amat menyesali(dirinya sendiri).
Ayat ini menyatakan bahwa Manusia di hari Kiamat sangat
menyesali sikap perbuatan Duniawinya yang kurang memihak pada kebaikan, dimana Dia
merasa sangat tidak puas dihadapan Hakim Yang Maha Bijak karena sedikit sekali
melakukan persembahan amal baiknya. Allah Berfirman didalam Surat Asy
Syams:7-10
"dan jiwa serta
penyempurnaannya(ciptaannya) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu(jalan)
kefasikan dan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya"
Ahmad Mustafa
al-Maraghiy, dalam tafsirnya "Al-Maraghiy" menyatakan substansi
manusia adalah jiwa, manakala jasad (tubuh kasar) merupakan wadah tempat jiwa
bersemi. Dengan kata lain kepribadian insan tersusun dua unsur, yaitu
al-nafs(jiwa) dan jasad(tubuh kasar). semua sikap yang diperankan jasad
ditentukan oleh kematangan dari latihan rohaniyah seseorang. Sebab, jiwa
memiliki dua potensi yang memberi konstribusi pada kehidupan manusia yaitu
potensi kejahatan dan kebaikan. Kedua sifat ini terjelma dalam tindak-tanduk
keseharian manusia. kalau potensi insaniyah yang fitri mendominasi jiwa maka ia
akan berperilaku baik, manakala potensi yang menyimpang dari fitrah insaniyah
dan lazimnya dihasilkan oleh lingkungan tempat ia tinggal akan menjerumuskan
jasad bertindak di jalur ketentuan Ilahi. dalam hal ini al-Qur'an menyatakan
didalam surat Ar-Rum: 30 "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah mencptakan manusia menurut
fitrah itu. tidak ada perbuatan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus;
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".
Yang
dimaksud fitrah Allah ialah Allah menciptakan manusia mempunyai naluri beragama
yaitu tauhid, yang sama seperti naluri lain seperti gembira, sedih, marah,
takut, saying, seksual, dihargai dan sebagainya. Allah jaga menyatakan “Tidak
ada perbuatan selain fitrah-Nya” yang bermakna semua manusia diberi naluri
agama sehingga tidak ada alasan baginya untuk menyatakan dirinya bernasib
buruk. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh
lingkungan yng dalam hal ini Rasul menyatakan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ أَنَّهُ
كَانَ يَقُوْلُ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ. فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ. فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ.
Hadis riwayat Abu Hurairah
Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda:
Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang
membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi.
Sebagaimana seekor binatang yang melahirkan seekor anak tanpa cacat, apakah
kamu merasakan terdapat yang terpotong hidungnya?.
Al-qur’an
banyak menyebut kata-kata al-nafs (jiwa) tapi tidak member makna konkrit
mengenai hakikat jiwa. Oleh karena itu ilmuan Muslim, berbeda dalam menafsirkan
hakikat makna jiwa. Al-Kindi misalnya, member definisi jiwa sebagai “substansi
yang sangat halus, bertabiat mulia dan substansi tersebut bahagian dari
substansi Allah sendiri, manakala ruh berada didalamnya. Jiwa adalah cahaya
dari Nur Allah, sama seperti cahaya yang terpancar dari matahari, dan ia
berdiri sendiri. Al-Tsauriy, seorang sufi besar abad ke III H. member makna
al-nafs sebagai zat yang berada dalam batin manusia, dan ia tidak terikat
dengan tabiat nsaniyah yang rendah. Kedua definisi inimengisyaratkan bahwa jiwa
sebagai unsure yang terpisah dengan jasad, dalam artian ia berupa zat yang
dapat menyelinap dalam tubuh manusia dan dapat terpisah dengan manusia, tapi ia
adalah suatu yang suci sehingga dapat berkomunikasi dengan Zat Ynag Maha Kuasa.
Jiwa yang menjaga dirinya dengan sebaik-baiknya seperti para rasul dan
wali-wali Allah akan dapat berkomunikasi langsung dengan Allah sebagaimana
terjadi pada Nabi Musa yang melakukan perckapan dengan Allah di Thursina , Nabi
Nuh mendapat Intruksi untuk membuat bahtera dan Nabi Muhammad di malam Mi’rajnya
ke langit.
Fazlurrahman,
seperti yang dikutip Dawam Rahardjo, menyatakan “ adapun beberapa prediket yang
beberapa kali disebut dalam Al-Qur’an seharusnya dipahami sebagai
keadaan-keadaan aspek watak dan kecendrungan-kecendrungan yang ada pada pribadi
manusia. Ini seharusnya dipahami sebagai aspek mental sebagai lawan dari aspek psikal, tapi tidak sebagai
substansi yang terpisah.
Memang
realita yang kita hadapi, seperti yang dinyatakan Dawam, hal yang belum banyak
dibahas pada tingkat tafsir analisis filiosofis atau ilmiah pada umumnya
dilingkungan kaum muslimin adalah keterkaitan antara jasad dengan jiwa belum
ditemukan uraian yang mendetil sehingga mengantarkan kita kepada suatu kebenaran
yang tidak tergugat lagi.
Secara
garis besar, dengan memperlihatkan pada sejumlah Ayat-ayat suci Alqur’an dalam
uraian sebagian ulama serta gejala yang dapat dipelajari, jiwa dapat dibagi dalam
tiga katagori tingkatan yaitu:
1.
Al-Nafs
al-Ammarah; pada tingkst ini, jiwa didorong leh hal-hal yang rendah seperti
loba, tamak, iri, dengki, dan semua sifat keji lainnya.
2.
Al-Nafs al-Lawwamah; pada tingkatan ini, manusia sudah menyadari kesalahan
yang sudah dilakukan dan menyesali semua tindakan itu, namun ia belum dapt
mengendalikan penuh terhadap jiwanya sehingga kemungkinan kasalahan akan
terulang kembali pada dirinya.
3.
Al-Nafs al-Muthamainnah; adalah tingkat yang tertinggi dari jiwa manusia
karena ia mampu mengendali semua sikap dan tindakannya. Orang yang demikian
merasa puas dengan apa yang dimiliki, sabar dan tabah menghadapi cobaan dan
tidak berkeluh kesah menghadapi malapetaka dan tantangan hidup sambil mencari
jalan keluar dengan penuh ketenangan.
Penjelasan diatas
menunjukkan bahwa ilmu jiwa modern sekarang tidak menjelaskan substansi jiwa
yang memang tidak diketahui hakikat substansi tersebut namun yang memungkinkan
dikaji dan dipelajari adalah gejala-gejalanya yang ditunjuki oleh sikap
seseorang. Barangkali mengenali gejala jiwa lebih bermakna daripada mencari
hakikat jiwa. Dengan mengenali jiwa yang berontak dan jiwa yang pernah kembali
kepada agama dan jiwa yang berpegang teguh pada agama, psikolog dan ruhaniawan
akan mudah melakukan terapi terhadap penderota serta mudah dan tepat
mengarahkannya pada sasaran yang diharapkan dalam rangka membangun jiwa yang
stabil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar