Jumat, 18 Mei 2012


Alqur’an dan Jiwa

            Jiwa dalam Bahasa Arab disebut "al-Nafs" dan ilmu jiwa disebut 'ilm al-nafs. kata-kata al-nafs banyak dijumpai dalam Al-Qur’an dan memiliki makna ganda seperti Manusia, Zat, Unsur, Diri, Nafsu dan Jiwa dalam arti Subtansi Manusia. kata-kata al-nafs yang bermakna jiwa didapati dalam Ayat-ayat Allah yakni dalam Surat Al-Fajr:27-28:
"hai jiwa yang tenang! kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. dan didalam Surat Al-Qiyamah:2 " dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali(dirinya sendiri).

          Ayat ini menyatakan bahwa Manusia di hari Kiamat sangat menyesali sikap perbuatan Duniawinya yang kurang memihak pada kebaikan, dimana Dia merasa sangat tidak puas dihadapan Hakim Yang Maha Bijak karena sedikit sekali melakukan persembahan amal baiknya. Allah Berfirman didalam Surat Asy Syams:7-10 
"dan jiwa serta penyempurnaannya(ciptaannya) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu(jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya"
          Ahmad Mustafa al-Maraghiy, dalam tafsirnya "Al-Maraghiy" menyatakan substansi manusia adalah jiwa, manakala jasad (tubuh kasar) merupakan wadah tempat jiwa bersemi. Dengan kata lain kepribadian insan tersusun dua unsur, yaitu al-nafs(jiwa) dan jasad(tubuh kasar). semua sikap yang diperankan jasad ditentukan oleh kematangan dari latihan rohaniyah seseorang. Sebab, jiwa memiliki dua potensi yang memberi konstribusi pada kehidupan manusia yaitu potensi kejahatan dan kebaikan. Kedua sifat ini terjelma dalam tindak-tanduk keseharian manusia. kalau potensi insaniyah yang fitri mendominasi jiwa maka ia akan berperilaku baik, manakala potensi yang menyimpang dari fitrah insaniyah dan lazimnya dihasilkan oleh lingkungan tempat ia tinggal akan menjerumuskan jasad bertindak di jalur ketentuan Ilahi. dalam hal ini al-Qur'an menyatakan didalam surat Ar-Rum: 30 "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah mencptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perbuatan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".
            Yang dimaksud fitrah Allah ialah Allah menciptakan manusia mempunyai naluri beragama yaitu tauhid, yang sama seperti naluri lain seperti gembira, sedih, marah, takut, saying, seksual, dihargai dan sebagainya. Allah jaga menyatakan “Tidak ada perbuatan selain fitrah-Nya” yang bermakna semua manusia diberi naluri agama sehingga tidak ada alasan baginya untuk menyatakan dirinya bernasib buruk. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan yng dalam hal ini Rasul menyatakan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ؛ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ. فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ.
Hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda: Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi. Sebagaimana seekor binatang yang melahirkan seekor anak tanpa cacat, apakah kamu merasakan terdapat yang terpotong hidungnya?.
            Al-qur’an banyak menyebut kata-kata al-nafs (jiwa) tapi tidak member makna konkrit mengenai hakikat jiwa. Oleh karena itu ilmuan Muslim, berbeda dalam menafsirkan hakikat makna jiwa. Al-Kindi misalnya, member definisi jiwa sebagai “substansi yang sangat halus, bertabiat mulia dan substansi tersebut bahagian dari substansi Allah sendiri, manakala ruh berada didalamnya. Jiwa adalah cahaya dari Nur Allah, sama seperti cahaya yang terpancar dari matahari, dan ia berdiri sendiri. Al-Tsauriy, seorang sufi besar abad ke III H. member makna al-nafs sebagai zat yang berada dalam batin manusia, dan ia tidak terikat dengan tabiat nsaniyah yang rendah. Kedua definisi inimengisyaratkan bahwa jiwa sebagai unsure yang terpisah dengan jasad, dalam artian ia berupa zat yang dapat menyelinap dalam tubuh manusia dan dapat terpisah dengan manusia, tapi ia adalah suatu yang suci sehingga dapat berkomunikasi dengan Zat Ynag Maha Kuasa. Jiwa yang menjaga dirinya dengan sebaik-baiknya seperti para rasul dan wali-wali Allah akan dapat berkomunikasi langsung dengan Allah sebagaimana terjadi pada Nabi Musa yang melakukan perckapan dengan Allah di Thursina , Nabi Nuh mendapat Intruksi untuk membuat bahtera dan Nabi Muhammad di malam Mi’rajnya ke langit.
            Fazlurrahman, seperti yang dikutip Dawam Rahardjo, menyatakan “ adapun beberapa prediket yang beberapa kali disebut dalam Al-Qur’an seharusnya dipahami sebagai keadaan-keadaan aspek watak dan kecendrungan-kecendrungan yang ada pada pribadi manusia. Ini seharusnya dipahami sebagai aspek mental sebagai lawan  dari aspek psikal, tapi tidak sebagai substansi yang terpisah.
            Memang realita yang kita hadapi, seperti yang dinyatakan Dawam, hal yang belum banyak dibahas pada tingkat tafsir analisis filiosofis atau ilmiah pada umumnya dilingkungan kaum muslimin adalah keterkaitan antara jasad dengan jiwa belum ditemukan uraian yang mendetil sehingga mengantarkan kita kepada suatu kebenaran yang tidak tergugat lagi.
            Secara garis besar, dengan memperlihatkan pada sejumlah Ayat-ayat suci Alqur’an dalam uraian sebagian ulama serta gejala yang dapat dipelajari, jiwa dapat dibagi dalam tiga katagori tingkatan yaitu:
1.      Al-Nafs al-Ammarah; pada tingkst ini, jiwa didorong leh hal-hal yang rendah seperti loba, tamak, iri, dengki, dan semua sifat keji lainnya.
2.      Al-Nafs al-Lawwamah; pada tingkatan ini, manusia sudah menyadari kesalahan yang sudah dilakukan dan menyesali semua tindakan itu, namun ia belum dapt mengendalikan penuh terhadap jiwanya sehingga kemungkinan kasalahan akan terulang kembali pada dirinya.
3.      Al-Nafs al-Muthamainnah; adalah tingkat yang tertinggi dari jiwa manusia karena ia mampu mengendali semua sikap dan tindakannya. Orang yang demikian merasa puas dengan apa yang dimiliki, sabar dan tabah menghadapi cobaan dan tidak berkeluh kesah menghadapi malapetaka dan tantangan hidup sambil mencari jalan keluar dengan penuh ketenangan.

Penjelasan diatas menunjukkan bahwa ilmu jiwa modern sekarang tidak menjelaskan substansi jiwa yang memang tidak diketahui hakikat substansi tersebut namun yang memungkinkan dikaji dan dipelajari adalah gejala-gejalanya yang ditunjuki oleh sikap seseorang. Barangkali mengenali gejala jiwa lebih bermakna daripada mencari hakikat jiwa. Dengan mengenali jiwa yang berontak dan jiwa yang pernah kembali kepada agama dan jiwa yang berpegang teguh pada agama, psikolog dan ruhaniawan akan mudah melakukan terapi terhadap penderota serta mudah dan tepat mengarahkannya pada sasaran yang diharapkan dalam rangka membangun jiwa yang stabil.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar